Antibiotik makin tak manjur dan bakal “membunuh” 10 juta jiwa: 6 hal hitam putihnya

Dalam proyeksi yang cukup mengejutkan, para ahli telah memperkirakan sebuah kenyataan suram pada 2050: jumlah kematian tahunan akibat resistensi antibiotik akan mencapai 10 juta jiwa

Resistensi antibiotik adalah saat antibiotik tidak lagi mampu membunuh bakteri di tubuh sehingga bakteri terus berkembang biak dan sakit pasien makin parah, serta berakhir meninggal.

Angka kematian itu melampaui proyeksi kematian akibat kanker–dikenal sebagai penyakit ganas, mematikan, dan membutuhkan terapi yang rumit.

Antibiotik ditemukan pada 1928 dan mulai masif digunakan di dunia medis pada 1950-an.

Antibiotik telah menyelamatkan jutaan nyawa dari berbagai penyakit infeksi yang sering berakibat fatal akibat ketiadaan terapi yang efektif. Bahkan, Sir Alexander Fleming, penemu antibiotik pertama “penisilin” diberi hadiah nobel atas penemuannya.

Sayangnya, prediksi Fleming tentang resistensi antibiotik pada akhirnya menjadi kenyataan. Tidak menunggu lama, beberapa obat antibiotik yang berhasil ditemukan dan dikembangkan dalam periode 1950-1960 mengalami resistensi akibat penggunaan berlebihan.

Dampaknya, penyakit infeksi yang sebelumnya dapat disembuhkan dengan obat-obat ini menjadi lebih sulit untuk diatasi. Setidaknya ada enam hitam-putih seputar terkait resistensi antibiotik yang perlu kita pahami.

1. Resistensi antibiotik berdampak kepada semua orang

Resistensi antibiotik bukan hanya ancaman bagi mereka yang salah menggunakan antibiotik dan bagi mereka yang sedang menderita penyakit infeksi. Siapapun bisa terkena dampaknya, termasuk mereka yang sebelumnya tidak pernah menderita penyakit infeksi seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, dan lainnya.

Selain karena penyakit infeksi bisa terjadi pada siapa saja, antibiotik juga merupakan kebutuhan esensial dalam beberapa jenis penanganan dan pengobatan di rumah sakit.

Antibiotik tidak hanya digunakan dalam mengobati infeksi, tapi juga diperlukan dalam kasus lain. Misalnya pada penanganan pasca operasi, kemoterapi atau pengobatan kanker, dan transplantasi organ.

Dengan kata lain, obat antibiotik yang efektif adalah kebutuhan kita semua dalam berbagai skenario pengobatan.

2. Resistensi antibiotik adalah fenomena alami

Secara alami, bakteri memang memiliki kemampuan untuk terhindar dari efek obat antibiotik sebagai strategi alamiah untuk kelangsungan hidup mereka.

Makhluk dengan sel tunggal ini memiliki berbagai macam mekanisme untuk mengalahkan obat antibiotik, atau untuk menghindar dari dampak mematikan obat tersebut.

Salah satu strategi yang dimiliki oleh bakteri adalah mereka memproduksi enzim yang dapat merusak atau menurunkan khasiat senyawa antibiotik tersebut. Sebagai contoh, penisilin bisa terdegradasi oleh enzim betalaktamase yang diproduksi oleh bakteri.

Meskipun merupakan fenomena alami, penggunaan antibiotik yang serampangan bisa memperparah terjadinya fenomena kekebalan bakteri patogen terhadap antibiotik.

3. Industri farmasi tak tertarik bikin antibiotik

Pembuatan dan riset antibiotik baru kurang menarik bagi industri farmasi. Mengapa? Karena rendahnya peluang untuk mendapatkan profit bisnis yang besar.

Industri dapat menghabiskan lebih dari US$1 miliar (setara Rp15,6 triliun) untuk menghasilkan satu obat untuk dapat dipasarkan. Khusus antibiotik, biaya ini cenderung lebih mahal.

Di lain pihak, resistensi menyebabkan umur pakai obat antibiotik menjadi sangat pendek, sehingga biaya besar untuk riset tidak bisa ditanggulangi oleh profit yang rendah.

Hal ini berbeda dengan obat penyakit kronis seperti diabetes atau hipertensi yang bisa dan sering digunakan seumur hidup, sehingga industri dapat meraup keuntungan yang lebih besar. Akibatnya, investasi dalam pengembangan antibiotik menjadi sangat rendah.

Sebagai konsekuensi logis, industri farmasi tidak lagi melihat produksi obat antibiotik sebagai langkah bisnis yang menguntungkan.

4. Sedikit antibiotik baru

Seretnya riset dalam pengembangan dan produksi antibiotik menciptakan krisis baru.

Dalam 10 tahun terakhir, hanya ada beberapa antibiotik baru yang dinyatakan lolos uji klinis untuk dapat digunakan dalam pengobatan.

Selain itu, mayoritas obat antibiotik yang digunakan di dalam pelayanan kesehatan saat ini merupakan antibiotik yang ditemukan puluhan tahun yang lalu atau modifikasinya.

Sebagai contoh, amoksisilin adalah antibiotik spektrum luas yang sudah berusia 70 tahun. Meropenem–salah satu antibiotik yang saat ini paling mujarab–dikembangkan sejak awal 1980-an.

Sedikitnya jumlah antibiotik baru ini sangat mengkhawatirkan, karena kita semakin kehabisan pilihan pengobatan untuk penyakit infeksi.

Di lain pihak, kita sangat memerlukan obat baru yang lebih efektif untuk mengatasi infeksi dan membunuh bakteri yang semakin kebal.

5. Penggunaan antibiotik di Indonesia tidak terkontrol

Penggunaan antibiotik di Indonesia tergolong tidak terkontrol. Hal ini terlihat dari minimnya pengawasan terhadap penjualan antibiotik di tingkat masyarakat. Di fasilitas kesehatan, peresepan antibiotik juga dinilai berlebihan.

Salah satu permasalahan utamanya adalah penggunaan antibiotik secara tidak tepat. Di mayoritas daerah, obat ini dapat dengan mudah diperoleh di apotek tanpa resep dokter dan dikonsumsi sebagai bagian dari pengobatan mandiri (swamedikasi).

Upaya swamedikasi seperti ini semestinya hanya sesuai untuk penyakit ringan seperti gejala flu, sakit kepala, dan gatal-gatal, bukan untuk penyakit infeksi.

Selain itu, antibiotik sering digunakan secara salah untuk mengatasi gejala flu. Antibiotik sebenarnya tidak berefek terhadap flu yang pada dasarnya disebabkan oleh virus.

Penggunaan antibiotik serampangan seperti ini merupakan salah satu penyebab utama yang memperparah kekebalan bakteri terhadap antibiotik. Padahal, antibiotik tergolong ‘obat keras’, yaitu kelompok obat yang hanya boleh dijual kepada konsumen jika disertai dengan resep dokter.

Selain problem di tingkat masyarakat, hasil penelitian terbaru mengungkap bahwa regulasi pemerintah terkait masalah ini tergolong buruk. Misalnya tidak adanya koordinasi antarsektor. Di sektor kesehatan, upaya pengawalan terhadap antibiotik di rumah sakit sering tidak terlaksana. Bahkan, upaya ini hanya sebatas formalitas untuk akreditasi rumah sakit.

Di sektor keuangan, anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk langkah ini juga tidak mendapatkan prioritas. Selain itu, minimnya program terkait bagi tenaga kesehatan juga memperparah masalah ini.

6. Memerlukan penanganan secara global

Resistensi antibiotik adalah masalah yang sudah berdampak serius secara global.

Untuk mengatasi ancaman serius ini, tindakan global sangat penting. Para pemimpin dunia, bersama dengan organisasi internasional, telah bersatu untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam memerangi resistensi antibiotik dan menjaga efektivitas obat-obatan antibiotik yang senantiasa kita butuhkan.

Saya, kamu, dan setiap individu memiliki peran dalam melawan fenomena resistensi antibiotik ini.

Masyarakat dapat berkontribusi dengan menghindari pembelian antibiotik tanpa resep dokter. Dalam penggunaan antibiotik yang benar, keseluruhan antibiotik yang diresepkan dokter harus dikonsumsi sampai habis meski gejala penyakit sudah tidak dirasakan lagi.

Penggunaan antibiotik sisa untuk anggota keluarga yang lain juga harus dihindari. Terakhir, pola hidup bersih juga penting dalam rangka mencegah terjadinya infeksi.

Yori Yuliandra, Associate Professor, Universitas Andalas

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.