Namanya Abeni (bukan nama sebenarnya), seorang gadis belia usia 6 tahun di Abuja, Nigeria yang baru saja menjalani operasi jantung. Pasca operasi, ia mengalami infeksi pada luka operasi akibat antibiotik yang diberikan tidak sanggup mengatasi infeksinya.
Karena kondisi yang semakin parah, dokter mengambil sampel darahnya untuk uji lab dan terungkap bahwa kuman yang menginfeksinya sudah kebal terhadap semua antibiotik yang tersedia di rumah sakit tersebut.
Akhirnya tim dokter berhasil mendatangkan antibiotik ‘tigesiklin’ dari kota lain. Obat ini memang sering dijadikan sebagai jurus pamungkas jika antibiotik lain tidak efektif dalam mengatasi infeksi. Kondisi kesehatan Abeni terlihat membaik setelah diberikan obat ini. Namun, tiga hari kemudian kondisinya tiba-tiba memburuk dan si gadis kecil pada akhirnya meninggal dunia.
Kisah tragis Abeni (dimuat pada The Guardian) adalah salah satu contoh nyata bagaimana resistensi bakteri menjadi ancaman mematikan bagi siapa saja dan dapat merusak kemajuan kedokteran modern. Kasus seperti ini bermunculan di seluruh dunia dan lebih lazim pada negara miskin dan berkembang, membuat para ilmuwan semakin khawatir.
Dalam sebuah proyeksi menakutkan, para pakar memprediksi bahwa gagalnya antibiotik dalam mengatasi infeksi akan memakan korban tahunan sebanyak 10 juta kematian pada tahun 2050. Angka ini bahkan diprediksi melampaui angka kematian akibat kanker.
Badan kesehatan dunia (WHO) telah menempatkan resistensi antibiotik ini sebagai salah satu ancaman serius terhadap kemanusiaan. Dampaknya sangat luas dan tidak hanya terhadap bidang kesehatan, namun mencakup ekonomi dan keamanan global.
