"Bunuhlah aku di dekat batu itu…!"
Pernahkah kau dengar peribahasa “buah durian jatuh tidak akan jauh dari pohonnya”…? Kalo belum pernah berarti inilah pertama kalinya kau membaca peribahasa yang tidak cukup bermakna ini (unless you read the rest of this posting)
Lelaki itu sekarang sudah menjadi ayah. Beberapa anak pun sudah lahir dari rahim istrinya. Dia pun sibuk bekerja dan mengurus rumah tangganya. Semuanya ia laksanakan tanpa beban dan sepertinya mereka hidup cukup bahagia.
Namun ada satu hal yang cukup mengganggu ketenteramannya. Seseorang yang sering membuatnya kesal, emosi, dan marah: ayahnya. Ya, ayahnya yang tua renta itu sudah memasuki usia senja. Sang ayah yang sakit-sakitan adalah penghalang bagi kebahagiaan kehidupan rumah tangganya. Baginya, ayahnya sudah tidak memberikan manfaat apa-apa, selain membuat susah seisi keluarga.
Rasa kesal yang kian hari kian bertambah akhirnya menghantarkannya kepada emosi yang sudah sangat memuncak. Akhirnya sang lelaki berhasil dipengaruhi iblis durjana. “Mengapa tidak kau bunuh saja ayahmu, supaya kau tidak lagi menjadi susah mengurusnya?” Termakan oleh rayuan jahat, akhirnya karena memang merasa sudah tidak ada lagi hal positif yang bisa ia harapkan dari ayahnya, ia pun membuat rencana pembunuhan sang ayah.
Akhirnya, suatu hari ia membawa ayahnya keluar rumah, tepatnya ke padang pasir yang sepi untuk menjalankan rencana yang sudah ia susun sebelumnya. Sampai kemudian, dengan rasa penasaran sang ayah bertanya “Apa yang akan kau lakukan wahai anakku…”? Dan sang anak pun menjawab “Aku ingin membunuhmu…”. Kemudian dengan pembawaan yang tenang dan membuat sang anak penasaran, sang ayah pun berkata “Nak… Jika kau memang ingin membunuhku, maka lakukanlah di samping batu itu”,
Nak… jika kau memang bersikeras ingin membunuhku, maka bunuhlah aku di dekat batu itu” Sambil menunjuk sebuah batu yang sepertinya sudah ia kenali. “Sebelum dirimu, aku pun dulu pernah durhaka kepada ayahku, dan aku membunuhnya di dekat batu itu. Dan ingatlah anakku… kelak kau juga akan dibunuh oleh anakmu, di dekat batu itu…”.
Nah… sobat semua. Mungkin tidak salah jika kita beropini bahwa diri kita hari ini adalah refleksi dari kedua orang tua kita, atau apa yang saya sering bahasakan dengan fotokopian dari ibu bapak. Atau mungkin juga anak-anakmu adalah cerminan dan siapa dirimu. Berharap anak yang shaleh dan baik dari orang tua yang jauh dari tuntunan Allah dan RasulNya sama saja dengan berharap hujan di dalam kamar (ini perumpamaan dari tadi koq gak ada yang pas ya…? *geleng-geleng).
Akhirnya… berusahalah yang terbaik untuk mendapatkan yang terbaik. Jadilah orang jujur kalau mau punya sahabat orang yang jujur. Jadilah anak yang shaleh kalau ingin nanti punya anak yang shaleh.
adapted from “the great power of mother”
- ITalk Episode 2: Belajar di Negeri Kangguru dengan Beasiswa - April 20, 2021
- Solid Dispersions of Famotidine: Physicochemical Properties and In Vivo Comparative Study on the Inhibition of Hyperacidity - August 9, 2020
- Menjadi “orang kimia” itu… (Refleksi satu tahun penelitian kimia farmasi) - March 7, 2020
dpw
Horor da… na’udzubillahimindzaalik…