Gempa Padang 30 September 2009
(sebuah cerita dan perspektif berbeda tentang gempa Padang 30 September 2009)
Gempa Sumbar 30 September 2009 silam meninggalkan cerita yang mendalam dan mungkin menyakitkan bagi warga Sumbar. Banyak kerusakan dahsyat dan kiamat kecil yang ia hadirkan. Namun, dibalik itu semua, gempa sumatera ini juga meniggalkan sejuta pelajaran sarat makna bagi siapa saja. Kita mungkin punya cerita dan hikmah yang berbeda dari hari-hari berkawan dengan gempa dan mencoba bersahabat dengan bencana.
Bahkan, sekedar untuk “menghibur diri” dan mengambil pelajaran dari musibah ini, bersama seorang adik, dan dilengkapi dengan sebuah kamera yang mumpuni saya menyempatkan diri untuk keliling kota Padang untuk hunting poto-poto bagaimana dahsyatnya gempa dengan durasi sekitar 1 menit tersebut. Anehnya, nyaris seluruh jalanan macet dan semua stasiun pengisian bahan bakar minyak (SPBU) dipadati ribuan orang. *ngapain ya…?
That earthquake was something different for me, especially for being a pharmacist. During November 2009, joining Rumah Zakat Indonesia, we went down town Padang, Padang Pariaman and Pariaman to make some kind of Bakti Sosial Kesehatan. The team consisted of doctors, pharmacists, nurses, and any other volunteers. It was a very precious experience and perhaps, couldn’t be compared to anything else.

Hari-hari sepanjang November 2009
Banyak sekali cerita yang mungkin bisa kita curi makna darinya. Mungkin kisah unik, menarik, atau memalukan, atau membuat kita terpukul sebagai seorang manusia. Berikut di antaranya:
1. Masyarakat sepertinya masih sepakat dengan praktisi kesehatan (khususnya orang-orang farmasi) bahwa obat adalah jawaban atas penyakit yang mereka derita.
Begini, ketika kita menggelar acara pengobatan gratis maka biasanya kita bikin beberapa pos dan alur yang akan dilalui oleh warga yang ingin ikut acara pengobatan gratis, yaitu: pos pendaftaran, trus pos pemeriksaan awal (tekanan darah, suhu tubuh, dll.) sekaligus pemberian blanko resep, trus ke pos dokter supaya mereka bisa diresepkan obat atas keluhan yang mereka derita, trus terakhir barulah ke pos apoteknya (inilah rumah posko kita…). Naah, ternyata banyak juga warga yang salah kaprah dalam berobat kali ini. Ketika mereka baru sampai di lokasi pengobatan, mereka langsung saja datang ke pos apoteknya dan dengan sekonyong-konyongnya mereka bersabda: “Ambo sakik kapalo alah sajak gampo, tensi randah pulo, batuak, sasak angok…. apo ubeknyo tuw…?”
Hohoo… nih warga sepertinya menjadi lupa dan amnesia bahwa ada orang hebat yang namanya dokter untuk berkonsultasi tentang penyakit mereka. Masak iya dokter yang dilupain. Lagian biasanya kan apoteker yang dilupain. Namun meskipun demikian, logika masyarakat kita memang tidak jauh berbeda dengan apa yang saya temukan di perkuliahan bahwa obat adalah jawaban atas penyakit yang mereka derita. Tinggal yang menjadi masalah adalah betulkah pemilihan obatnya… dosisnya… lama pemberiannya… cara menggunakannya… ?
2. Ada beberapa nama warga yang *sorry to say* agak kurang enak untuk dipanggil, apalagi dipanggil dengan suara nyaring.
Menyusuri pedalaman Kota Pariaman dan Padang Pariaman, kita akan menemukan logat bahasa yang unik (walaupun mungkin lebih unik lagi bahasanya orang payokumbuah *kampuang den*), termasuk nama yang unik, atau mungkin lebih tepatnya tidak biasa dan tidak perlu dibiasakan. Saya agak kalimpasiang untuk memanggil beberapa nama pasien yang tertera pada resep ketika saya hendak menyerahkan obatnya yang sudah selesai dipersiapkan. Betapa tidak, saya sangat tidak tega memanggil seorang induak-induak dengan sebutan Ibuk Buruak (sebagaimana yang tertulis di resepnya) sampai akhirnya, saya minta tolong kepada pasien yang lain yang juga menunggu obatnya yang sedang kami persiapkan untuk memanggilkan pasien tersebut: “Hoi amak buruak, ko ubek amak lah salasai haa…” *gubrak. Trus ada juga pasien yang namanya apak Mantiak… *tobat… tobat…. and whispering “who gave ’em those names…?
3. Sebulan rasanya masih sangat tidak cukup untuk ikut serta merasakan kesedihan yang dialami korban musibah gempa
Dan kita pun harus bersyukur bahwa musibah dan bencana adalah salah dua cara Allah mengingatkan kita sebagai bukti cinta-Nya. Jadikan saja ia sebagai pelajaran dan hikmah.

- Solid Dispersions of Famotidine: Physicochemical Properties and In Vivo Comparative Study on the Inhibition of Hyperacidity - August 9, 2020
- Menjadi “orang kimia” itu… (Refleksi satu tahun penelitian kimia farmasi) - March 7, 2020
- Multicomponent crystals of mefenamic acid–tromethamine with improved dissolution rate - November 21, 2019
fki rabbani
asm da..kunjung balik ya…
Saya sibuk, anda sibuk, nyamuk pun sibuk | Yori Yuliandra | think like a learner
[…] persis sama tanpa diskriminasi. Orang baik, orang shaleh, koruptor, tukang besi, bankir, dokter, apoteker, tukang tambal ban, dan siapa saja diberikan jatah waktu yang sama: 24 jam sehari (bagi yang […]