Apoteker mengganti obat? Boleh tuh…
- At March 11, 2010
- By Yori Yuliandra
- In Indonesiana, Think Pharmacy
- 9
(kalo emang perlu dan sah, ganti aja…!)
Menteri Kesehatan, beberapa waktu yang lalu, menerbitkan Permenkes (peraturan menteri kesehatan) yang intinya mewajibkan tenaga kesehatan menggunakan obat generik dalam sarana kesehatan, terutama dalam rumah sakit pemerintah. Tidak hanya dokter, apoteker juga dapat mengganti obat dengan obat generik.
Peraturan ini dapat dilaksanakan dengan mengacu kepada beberapa persyaratan. Proses pergantian obat bermerek menjadi obat generik dapat dilakukan dengan catatan:
1. Atas sepengetahuan/izin dokter, atau
2. Atas permintaan pasien
Di negara kita, salah satu modus utama pelayanan kesehatan saat ini adalah: Pasien memeriksakan diri ke dokter –> Pasien dikasih resep oleh dokter –> Pasien menebus resep ke apotek (ketemu dengan apoteker yang ramah dan siap membantu :D). Dilema kefarmasian biasanya terjadi ketika pasien tidak dapat menebus obat yang diresepkan dokter karena mahal (karena obat bermerek), sedangkan apoteker tidak dapat (tidak berhak) untuk langsung mencari obat pengganti yang lebih sesuai dengan patient values. Padahal terkadang tuntutan kesehatan pasien mengharuskan mereka untuk menggunakan obat tersebut.
Perihal ini diatur dalam Permenkes No. HK.02.02/MENKES/068/I/2010 tanggal 14 Januari 2010 yang menjelaskan bahwa fasilitas kesehatan milik pemerintah wajib menggunakan obat generik. Permenkes ini merupakan salah satu dari program kerja 100 hari Kementrian Kesehatan. Dalam press release-nya, juga disebutkan bahwa:
Apoteker dapat mengganti obat merek dagang/obat paten dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas persetujuan dokter dan/atau pasien.
# Obat generik vs obat bermerek
Ketika sakit gigi, Anda pilih mana: Ponstan atau Asam Mefenamat? (Kalau saya: pilih tidak sakit gigi *haha… curang)
Kontroversi dalam hal pemilihan obat generik vs obat bermerek sepertinya akan terus berlanjut. Faktor harga dan faktor kualitas adalah 2 hal utama yang menjadi sasaran perdebatan. Animo yang berkembang di dalam dunia kesehatan saat ini (baik di lingkungan masyarakat maupun di lingkungan tenaga kesehatan sendiri) adalah bahwa obat generik lebih murah dan kualitasnya juga lebih rendah dibandingkan dengan obat bermerek yang sedikit atau jauh lebih mahal. Hal ini boleh jadi benar, namun bisa juga salah… *bingung kan?
Seharusnya, perdebatan dalam hal kualitas tidak lagi mengemuka dengan adanya standar cara pembuatan obat yang baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, baik untuk obat bermerek maupun obat generik. Dengan demikian dapat dibahasakan bahwa obat generik sama baiknya dengan obat bermerek (sepertinya statemen “sama baiknya” ini masih debatable)
Sejujurnya hal ini dapat membawa kepada peningkatan pelayanan yang lebih tepat sasaran dan mempertimbangkan patient values. Patient values yang dimaksudkan disini adalah: preferensi dari pasien tentang pengobatan yang mereka terima. Misalnya mereka mau obat yang lebih bagus karena keadaan keuangan mereka yang mendukung, atau sebaliknya pasien yang ingin obat yang lebih murah karena pertimbangan finansial mereka. Preferensi ini dapat juga berarti ketidakbersediaan pasien terhadap suatu obat tertentu yang seharusnya mereka gunakan (karena diresepkan oleh dokter). Bahkan UU kesehatan juga menggariskan lebih jauh bahwa pasien berhak tau tentang apa penyakitnya, apa saja obatnya, apa saja efek samping dari obat yang mungkin terjadi, dan lain sebagainya.
# Awas salah kaprah…!
Kalau kita mau fair, adanya regulasi baru ini dikhawatirkan juga sekaligus dapat membawa kepada pelayanan kefarmasian yang tidak tepat. Hal ini dapat terjadi jika peraturan ini tidak sepenuhnya dijalankan. Hal ini dapat memperburuk keadaan jika hanya dijalankan sebagian yang dirasa menguntungkan saja dan kemudian mengesampingkan aspek penting lainnya. Misalnya:
- Penggantian obat oleh asisten apoteker, karena yang diizinkan melakukan penggantian obat adalah apoteker (tentunya atas kapasitas dan kompetensinya), bukan oleh asisten apoteker (karena memang bukan kompetensi mereka).
- Penggantian suatu obat dengan obat lain dengan kandungan obat yang berbeda (walaupun mempunyai khasiat yang sama atau dari golongan obat yang sama). Misalnya seorang pasien diresepkan suatu antibiotik bermerek dengan kandungan siprofloksasin, lalu kemudian dilakukan penggantian oleh pihak farmasi menjadi amoksisilin generik. Walaupun obatnya adalah sama-sama antibiotik, tetapi kandungan zat aktifnya adalah berbeda (siprofloksasin adalah berbeda dengan amoksisilin), sehingga penggunaannya tentulah juga berbeda.
- Penggantian obat yang commercial purpose… *hayo apa maksudnya…?
Kalo emang diperlukan dan sesuai aturan, GANTI AJA…! Kalo enggak, JANGAN COBA-COBA…!
- ITalk Episode 2: Belajar di Negeri Kangguru dengan Beasiswa - April 20, 2021
- Solid Dispersions of Famotidine: Physicochemical Properties and In Vivo Comparative Study on the Inhibition of Hyperacidity - August 9, 2020
- Menjadi “orang kimia” itu… (Refleksi satu tahun penelitian kimia farmasi) - March 7, 2020
Fajar Ramadhitya P
Perkara ganti mengganti merek obat sebenarnya sejak dulu sebelum muncul peraturan ini ada celahnya. Dalam artian memang tidak dilarang kok. Oknum saja yang iseng mencantumkan di resep “tidak boleh diganti kecuali izin dokter” padahal tidak ada dasar hukum untuk melarang. Kalau tak ada larangan, berarti boleh kan?
yoriyuliandra
Iya juga sih… kalo gak dilarang berarti boleh (seperti kaidah muamalah aja ya… *kalo kaidah ibadah kan kebalikannya)
Emang gak ada dasar hukumnya. Mungkin hanya semacam etika profesi aja… dan mungkin juga gak tertulis *banyak sekali mungkinnya… 🙂
Fajar Ramadhitya P
Jadi kalau tadinya boleh, peraturan ini artinya apa dong? Hanya mempertegas? Rasanya kurang tegas juga karena untuk mengganti masih disyaratkan adanya izin dokter dan atau pasien, belum lagi dijelaskan kalau urusan mengganti obat ini dimaksudkan untuk pasien yang mengalami kesulitan keuangan.
Lalu bagaimana dengan pasien yang tidak miskin-miskin amat tapi juga tidak kaya banget, trus mau milih obat generik? Ini kan tidak masuk kategori kesulitan keuangan. Jadi menurut saya peraturan yang ada masih setengah hati. Malah lebih enak yang lama kayanya. Entahlah.
Hafshah Zone
Tapiiiii…
pada kenyataannya Da, di lapangan tetap saja semua menjadi “otoritas para dokter”
si dokter tetep kekeuh sama obat yg dia mau….
jadii…
akhirnya, Apoteker Hanya Bisa Diam..
🙁
http://fathelvi.blogspot.com/2010/03/apoteker-hanya-bisa-diam.html
Yori
Semuanya butuh waktu untuk berproses, apalagi untuk mengubah (baca: memperbaiki) paradigma lama dan telah berurat-akar.
Mungkin, farmasis hanya bisa diam (awalnya), namun kemudian pastinya harus berusaha untuk mencoba mengedepankan “patient first”, bagaimanapun caranya dan whatever it takes ^_^/
Asop
Hmmm… yg mana aja asalkan konsumen jangan sampe dirugikan. Nanti takutnya konsumen yang harusnya sembuh malah kena komplikasi penyakit lain gara2 salah obat. Kalo obatnya masih bisa tergantikan oleh obat lain yang kandungan bahannya sama sih masih mending. Gimana kalo udah ganti obat, salah kandungan pula. Itu yang saya takutkan.
Harusnya dari awal dokter ngasih resep harus sambil melihat kemampuan ekonomi pasien juga ya. 🙂
Fajar Ramadhitya P
@Asop
Apoteker adalah profesi yang keahliannya di bidang obat, jadi tentu tidak sembarangan pula dalam mengganti obat, apalagi mengganti obat yang kandungannya berbeda. Seperti disebutkan di atas, kandungannya tetap sama, yang diganti hanya mereknya.
Dokter juga manusia, akan sulit untuk meresepkan obat dari sekian banyak merek obat di pasaran sehingga sebenarnya lebih mudah jika dokter hanya menulis nama generik obat di dalam resep.
yoriyuliandra
Sepakat…
Terimakasih jawabannya mas Fajar
Dokter: ahli mendiagnosa
Apoteker: ahli obat
Perawat: ahli merawat
So, semuanya akan lancar jika masing-masingnya berkonsentrasi di relnya masing-masing
😀
purwi
yupz Obat generik dan Obat paten polemik dari awal sampai sekarang masalah di sini di daerah hampir sama otoritas dokter,,,