Ditolak itu rasanya…
- At June 13, 2019
- By Yori Yuliandra
- In Blog, Research Things, Story of Mine
1

Rasanya penelitian yang kami kerjakan waktu itu bukan kelas ecek-ecek, dan juga dengan dukungan dana yang jauh dari kata murah. Trus, bahasa Inggris yang kami gunakan di dalam menyiapkan naskah publikasinya juga close to very good lah… Tapi, ternyata ditolak berkali-kali oleh beberapa penerbit jurnal yang kami lamar. Walaupun di dalam email notifikasi penolakannya sering terdapat disclaimer “our decision doesn’t necessarily represents the quality of your work“, tapi tetap saja, it hurts. Sakit, tapi nggak berdarah đŸ˜‰
Begitulah pengalaman pertama kalinya naskah yang saya ajukan ditolak oleh penerbit jurnal. Pengalaman di tahun 2018 ini menjadi salah satu cerita yang rasanya layak saya kenang dan catatkan dalam sejarah hidup. Ini adalah tentang determinasi dan kegigihan dalam mencapai target, tidak mudah menyerah ataupun sekonyong-konyong mencari jalan pintas. Ia juga mungkin tentang bagaimana kita harus tetap mengutamakan proses ketimbang hasil. Dan tak kalah penting, tentang kesabaran.
Tiga kali ditolak secara beruntun
Dari awal penyiapan naskah, kami memang sudah bertekad untuk menjauhkan diri dari jurnal dan penerbit yang terindikasi predatory. Daftar jurnal yang dicurigai ‘abal-abal’ yang pertama kali dibuat oleh Jeffrey Beall ini akan selalu jadi rujukan dalam memilih jurnal ilmiah (klik di sini untuk melihat daftarnya). Singkat cerita, percobaan pertama jatuh pada jurnal APJTM (ScimagoJR Q2) yang diterbitkan di China. Tapi ditolak dengan alasan yang cukup normatif: not suitable for publication in our journal.
Percobaan kedua adalah ke jurnal APJTB yang merupakan kembaran dari APJTM. Jurnal kedua ini sudah pernah kami tembus pada tahun 2017, sehingga merasa lebih percaya diri. Namun takdir berkata lain, ditolak. Lagi, dengan alasan yang relatif sama, atau mungkin persis sama (barangkali karena mereka menggunakan template email yang sama, silakan dibaca pada lampiran email berikut)
Usaha berikutnya kami arahkan kepada jurnal ARPR terbitan Springer yang berbasis di Korea Selatan. Singkat cerita, ditolak lagi dengan alasan yang lebih detail dan terasa lebih dapat diterima. Di dalam lampiran email penolakannya pun, bahasa yang digunakan relatif lebih adem dan menghibur. Ditolak, tapi terhibur. Lucu bukan?
Setidak enak apakah ditolak itu?
Pertanyaan klise, tapi ditolak itu memang cukup menyiksa. Barangkali terdapat beberapa penyiksaan yang terjadi ketika naskah yang kita ajukan ditolak, utamanya:
- Waktu terbuang. Tercatat lebih kurang satu bulan waktu yang “terbuang” tanpa hasil akibat penolakan beruntun ini. Submit pertama dilakukan pada pertengahan Maret 2018, dan penolakan ketiga diinformasikan via email pada pertengahan April. Satu bulan yang ini sebenarnya terbilang sangat sangat singkat untuk tiga kali penolakan, karena kesigapan dari jurnal yang kami lamar dalam memberikan keputusan (ini adalah salah satu indikator penerbit yang profesional). Untuk skenario tertentu, this can be so irritating. Misalnya seorang mahasiswa yang tidak dapat diwisuda kecuali artikelnya sudah dinyatakan diterima atau telah terbit di jurnal ilmiah sehingga dia harus menambah satu semester lagi dan harus membayar biaya kuliah, atau peneliti yang dana penelitiannya tidak turun atau justru ditarik kembali jika publikasi tidak diterbitkan sesuai tanggal kontrak. See?
- Gonta-ganti format penulisan. Setiap jurnal atau penerbit memiliki panduan penulisan dan format tersendiri untuk naskah yang mereka terbitkan. Bagi penulis yang tidak menggunakan perangkat lunak software manager, hal ini dipastikan bisa menambah tingkat stress beberapa derajat. Bahkan sekiranya artikel dinyatakan diterima sekalipun dan diminta untuk merevisi dengan penambahan referensi, perbaikannya bisa sangat merepotkan. Untung saja saya menggunakan Mendeley dalam mengelola referensi dan sitasi, sehingga perasaan ditolak menjadi sedikit kurang menyiksa.
Rasionalisasi dan menghibur diri
Normalnya, tidak ada penolakan yang membahagiakan. Pun dalam urusan penerbitan ilmiah. Tapi saya tetap bersyukur bahwa ada beberapa hal substantial yang menjadi pengetahuan baru beranjak dari penolakan ini. Misalnya, ada jurnal yang menganggap ekstrak tumbuhan tidak layak dipublikasi kecuali setelah dilakukan purifikasi terhadap kandungan kimianya. Komentar dari para reviewer juga merupakan hal lain yang cukup bernilai dan perlu dihargai. Dengan kepakarannya, kadang saya harus mengakui bahwa persoalan yang mereka permasalahkan adalah hal yang luput dari perhatian kita pada saat melaksanakan penelitian. Inilah mungkin salah satu alasan kuat mengapa para peneliti harus berusaha untuk menerbitkan karya ilmiah mereka pada penerbit yang bereputasi baik, meskipun risiko ditolak relatif lebih besar. Dan saya akan terus berusaha untuk berada di garis ini.
Apakah reputasi seorang peneliti atau penulis menjadi buruk jika ditolak berkali-kali oleh penerbit? Saya kira urusan penolakan tidak linear dengan reputasi, dan belum sempurna ‘keimanan’ seorang peneliti jika belum pernah ditolak oleh penerbit (ini bukan hadits ya, hehe…). Pada dasarnya, karya yang ditolak bukan berarti karena ianya jelek, tetapi hanya karena diajukan pada jurnal yang kurang tepat.
So, kesimpulannya adalah bahwa ditolak itu bukan berarti kiamat, pastinya. Meskipun tidak membahagiakan, ditolak merupakan proses yang harus dilalui untuk menjadi peneliti dan penulis yang baik. Waktu yang terbuang soyogyanya bukan waktu yang sia-sia, karena tetap ada proses berharga di sana (supaya tidak ditolak lagi, mungkin đŸ™‚
Kembali ke naskah yang sebelumnya sudah ditolak tiga kali, pada akhirnya ia dinyatakan diterima pada jurnal lain berselang 7 bulan setelah ditolak. Berhasil terbit bukan berarti artikelnya sudah “bagus”, tapi karena “berjodoh” dengan penerbit. Alhamdulillah
Images taken from freepik.com
- ITalk Episode 2: Belajar di Negeri Kangguru dengan Beasiswa - April 20, 2021
- Solid Dispersions of Famotidine: Physicochemical Properties and In Vivo Comparative Study on the Inhibition of Hyperacidity - August 9, 2020
- Menjadi “orang kimia” itu… (Refleksi satu tahun penelitian kimia farmasi) - March 7, 2020
Ibnu Rafi
Terima kasih, Mas, atas postingan terkait pengalaman ditolak jurnal. Saya “mendarat” di postingan ini setelah satu manuskrip saya ditolak oleh tiga jurnal, hingga pada akhirnya sampai ke pikiran “seburuk itukah pekerjaan atau tulisan saya”. Ya meskipun tetap dapat tulisan dari editor “penolakan ini tidak mesti merepresentasikan kualitas pekerjaan” kami, tetap saja bikin ambyar hati. Hahaha.
Terima kasih juga atas saran untuk menghibur diri dan apa yang sebaiknya dilakukan pasca penolakan ini.
Terima kasih.