Kumpulan penyesalan para wisudawan
(dedicated to those who try to finish his/her undergraduate study)
Judulnya lumayan menggelikan dan bikin penasaran (pasti pengen baca sampai akhir kan…? *kepedean…). Tapi saya harus kasih tau dari awal bahwa ini hanyalah keisengan belaka. Tapi meskipun iseng, saya tetap berusaha untuk realistis dan berdasarkan data dan pengalaman di lapangan 😀
Pada dasarnya, empat atau lima tahun kuliah seharusnya cukup untuk beberapa hal, sekaligus. Dinamika yang ada di kampus merupakan suatu peluang yang sangat menguntungkan bagi siapa saja, terutama mahasiswa, untuk dapat mengaktualisasikan diri mereka dan mempercepat proses pematangan mereka. Kampus ibarat suatu laboratorium pengembangan diri mahasiswa yang sangat kompleks. Suatu labor yang siap untuk mereaksikan potensi-potensi yang ada dengan pereaksi-pereaksi yang sudah tersedia.
Diharapkan dengan membaca “kumpulan penyesalan para wisudawan” ini, kita bisa memanfaatkan dinamika yang ada dan waktu yang masih tersisa sebelum berhasil menamatkan perkuliahan. Berikut adalah beberapa penyesalan yang cukup populer disesalkan oleh fresh graduate dari kampus:
1. Menyesal karena IPK < 3,00
Walaupun sejatinya kita kuliah bukan karena mengharapkan IPK, kondisi hari ini masih mendewakan IPK sebagai tolok ukur keberhasilan akademik seseorang dalam perkuliahan. Hal ini sepertinya adalah hal yang wajar, karena memang bukti otentik hasil perkuliahan kita ada di lembaran kertas yang kita sebut “transkrip akademik”. Meskipun demikian, sepertinya kurang fair juga ketika ada kategorisasi IPK di bawah 3 dengan IPK di atas 3, sebab sebenarnya indeks prestasi tersebut sudah punya pengkategorian yang selain mempertimbangkan score, juga mempertimbangkan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai score tersebut, yaitu Cum Laude, Sangat Memuaskan, Memuaskan yang dicetak tebal pada lembaran transkrip tersebut. Misalnya seseorang yang IPK-nya 3,3 ternyata menamatkan kuliahnya lebih dari 6 tahun (nah lho…?), maka ia dikategorikan lulus dengan predikat memuaskan (bukan sangat memuaskan). Namun, saat ini kita harus menyimpulkan bahwa, bagaimanapun, memiliki indeks prestasi yang lebih tinggi adalah lebih baik daripada terus mengkampanyekan bahwa “IPK itu bukan segalanya”.
2. Menyesal karena tidak punya pengalaman organisasi selama kuliah
Sejauh ini, aktivitas berorganisasi masih dinilai sebagai suatu aktivitas yang menjadi tolok ukur dalam beberapa kemampuan pada seorang lulusan perguruan tinggi. Seseorang yang berpengalaman dalam berorganisasi (bahkan beberapa jenis organisasi) biasanya lebih disukai dalam seleksi pekerjaan atau aplikasi lainnya. Sarjana yang punya pengalaman berorganisasi biasanya adalah sarjana yang dinilai punya kemampuan kepemimpinan dan manajerial yang relatif lebih baik dibandingkan dengan mereka yang tidak berorganisasi. Orang yang berorganisasi juga dinilai mampu memaksimalkan ketersediaan waktu yang sama-sama 24 jam sehari bagi setiap orang dengan kegiatan yang optimal. Dalam hal ini, ada semacam guyonan yang mengkategorikan mahasiswa menjadi 3 kelompok *silahkan didefenisikan sendiri:
- mahasiswa kupu-kupu: kuliah pulang kuliah pulang
- mahasiswa kura-kura: kuliah rapat kuliah rapat
- mahasiswa kunang-kunang: kuliah nangkring kuliah nangkring
3. Menyesal karena tidak punya prestasi selama kuliah
Menjadi seorang mahasiswa berarti berada di antara kumpulan orang-orang pintar dengan daya saing yang bervariasi. Bahkan, sebagian di antara teman-teman kita di kelas sebenarnya adalah siswa berprestasi ketika di SMA, misalnya menjuarai olimpiade bidang studi tingkat kota atau provinsi, juara story telling, lomba pidato, dan lainnya. Ternyata, kampus mempunyai peluang berprestasi yang jauh lebih banyak dengan frekuensi yang lebih tinggi. Bayangkan bahwa dalam setahun saja ada beberapa ajang prestasi yang tersedia di kampus dan siap untuk dicoba, baik tingkat kampus bahkan sampai ke tingkat nasional dan internasional, misalnya:
- Ajang mahasiswa berprestasi
- Best student award
- Bintang aktivis kampus
- Anugerah Universitas Andalas dari Dewan Penyantun
- Program Kreativitas Mahasiswa – PIMNAS
- English debate contest
- Musabaqah Tilawati Qur’an yang terbagi menjadi beberapa cabang
- Lomba pemikiran kritis mahasiswa
- Lomba penelitian ilmiah tingkat internasional (saya punya teman yang berhasil meraih juara II tingkat internasional dalam Mondialogo Engineering Award 2009, *that’s really great)
dan mungkin masih sangat banyak jenis ajang mahasiswa berprestasi. Dari sekian banyak peluang yang ada, rasanya kita perlu sedikit bersedih jika tidak pernah punya kesempatan untuk berkompetisi menguji kemampuan diri dan daya saing. Meskipun menjadi pemenang sepertinya agak sulit dan berliku, menjadi peserta dan kontestan sepertinya sangat mudah dan terbuka peluangnya buat siapa saja.
4. Menyesal karena tidak punya banyak teman selama kuliah
Mempunyai banyak teman dan jaringan boleh jadi adalah salah satu tujuan kuliah. Mungkin tidak ada yang salah dengan hal ini, karena memang proses berteman adalah suatu hal yang penting dalam memunculkan dinamika hidup sebagai mahasiswa. Sebagai contoh, dalam hal job seeking, kita bisa mendapatkan informasi yang komprehensif dari teman sewaktu kuliah tentang suatu lowongan kerja yang sebenarnya lebih baik untuk dirahasiakan untuk memperbesar peluang. Atau mungkin boleh jadi juga sedikit “nepoteisme” dari teman sama kuliah yang sudah terlebih dahulu mendapat pekerjaan atau bahkan punya jabatan. Hal ini hanyalah contoh kecil tentang betapa berharganya seorang teman. Bahkan dalam suatu kata mutiara, disebutkan bahwa
Teman adalah seseorang yang bersama dirinya kau bangga menjadi dirimu
Memilih teman berarti memilih masa depan. Maksudnya untuk berteman dan bersahabat, kita memang harus selektif. Namun untuk berkenalan dan ber-relasi, kita seharusnya tidak mengekang diri.
5. Menyesal karena tidak mempelajari bahasa Inggris lebih intens selama kuliah
If we see the rapid changes of our global world, we will realize that the need of English is increasing time by time. Kebutuhan akan bahasa Inggris tidak hanya untuk dunia kerja, tetapi juga untuk dunia pelajar itu sendiri. Betapa banyak buku-buku pelajaran yang semestinya bisa kita pahami, namun terhalang hanya karena “bukunya belum ditranslate ke bahasa Indonesia”. Jika tidak ditindaklanjuti, penyesalan yang satu ini sepertinya akan menjadi penyesalan yang senantiasa eksis ketika mahasiswa mulai menyandang gelar alumni. Betapa tidak, kebutuhan akan kemampuan bahasa Inggris saat ini menjadi semakin tinggi dengan tingkatan yang semakin tinggi pula. Seharusnya, 4 5 tahun kuliah bisa kita optimalkan untuk belajar bahasa Inggris (walaupun 6 tahun sebelumnya di SMP dan SMA kita juga sudah mempelajari bahasa Inggris). Yang kita butuhkan adalah teman, kita butuh teman untuk belajar dan kita butuh fasilitator untuk belajar. English club adalah salah satu pilihan yang cukup diminati untuk mengatasi masalah ini.
6. Menyesal karena tidak tau banyak tentang komputer
Kuliah di program studi non-komputer dan non-teknik bukan berarti serta-merta menjadikan komputer sebagai barang haram untuk didalami. Memiliki beberapa keahlian yang berhubungan dengan komputer dinilai cukup menjanjikan baik sebagai pekerjaan maupun sebagai pekerjaan sampingan. Selain untuk orientasi kerja, komputer juga menjanjikan joy and fun sehingga banyak juga mahasiswa yang tergila-gila dengan komputer (*kalo yang sampai gila seperti ini tidak disarankan untuk dicontoh :). Saya bahkan punya kenalan yang bertitel sarjana sastra namun bekerja di sebuah perusahaan desain konstruksi dan arsitektur karena mempunyai skill yang mumpuni dalam 3D Max yang awalnya cuma berawal dari hobi.
Disamping itu, sebenarnya komputer itu sendiri sangat berpotensi untuk mendukung akademik mahasiswa ketika mereka tau banyak tentang komputer dan pemanfaatannya untuk penunjang akademik mereka. Proses pembelajaran dapat menjadi lebih cepat atau bahkan menjadi lebih menarik dengan pemanfaatan fasilitas komputer. Atau paling tidak ketika komputer mereka sedikit bermasalah atau terinfeksi virus, mereka yang cukup care dengan komputer paling tidak akan berusaha untuk mengota-atiknya sendiri *kemudian kalo tambah parah baru diserahkan ke ahlinya.
7. Menyesal karena tidak pernah naik pesawat “gratis” selama kuliah
Yang ini mungkin sedikit ngawur, tetapi butuh perhatian juga. Adalah suatu prestise tersendiri jika selama kuliah kita pernah didelegasikan sebagai wakil kampus untuk kegiatan-kegiatan kemahasiswaan berskala nasional atau internasional. Biasanya kesempatan ini sering menghampiri mereka yang aktif dalam lembaga kemahasiswaan yang punya jaringan nasional dan punya pertemuan tahunan semisal musyawarah nasional, seminar dan lokakarya nasional, temu BEM se-Indonesia, dan lain sebagainya. Disamping itu, kesempatan untuk terbang gratis ini juga dapat singgah kepada mereka yang mengikuti lomba tingkat nasional seperti PIMNAS dan MTQ.
Sebenarnya kita tidak perlu ngarep.com untuk kemudian dipilih oleh pejabat yang berwenang (ketua lembaga mahasiswa atau pihak dekanat) sebagai delegasi kampus. Satu-satunya yang perlu kita lakukan adalah memposisikan diri kita sebagai orang yang layak untuk dipilih dalam hal ini. That’s all.
8. Tidak punya cukup sertifikat selama kuliah
Selama kuliah, sebenarnya kita bisa “mengumpulkan” puluhan sertifikat seminar, training dan pelatihan yang sangat sering dilaksanakan oleh kampus. Mempunyai banyak sertifikat dinilai dapat mempromosikan pandangan orang lain terhadap kemampuan dan kepribadian seseorang. Rasanya ada perasaan yang gimanaa gitu ketika kita punya curriculum vitae yang satu halaman saja tidak cukup untuk menampung daftar seminars and trainings yang pernah diikuti. Dengan panjangnya daftar tersebut biasanya akan muncul penilaian bahwa yang bersangkutan adalah orang yang berkompeten, paham, dan care terhadap apa-apa yang dijelaskan dalam masing-masing sertifikatnya.
Fenomena ini pada dasarnya tidaklah salah. Setiap mahasiswa memang sejatinya adalah orang yang senantiasa berusaha untuk mengaktualisasikan diri mereka, dan mengikuti berbagai seminar dan pelatihan boleh jadi adalah manifestasinya. Namun hal ini menjadi agak kurang tepat ketika proses aktualisasi diri ini dilakukan dengan certificate oriented supaya mendapat sertifikat. Padahal sebenarnya sertifikat tersebut hakikatnya hanyalah bukti otentik bahwa diri kita sudah memiliki kriteria sebagaimana yang dijelaskan oleh sertifikat tersebut. Sertifikat seharusnya hanyalah bukti tertulis yang menguatkan bukti dalam diri kita bahwa kita memang punya kualifikasi tersebut. Hal ini menjadi lebih salah ketika mengikuti kegiatan dengan malas-malasan dengan hanya duduk dan diam tak karuan, yang penting hadir dan dapat sertifikat. Atau menjadi sangat salah ketika membayar biaya registrasi namun tidak mengikuti proses pelatihan kemudian meminta sertifikat kepada panitia. Nah lho…
9. Penyesalan lainnya (silahkan ditambahkan)
Mudah-mudahan dengan kumpulan penyesalan ini, semakin memacu para mahasiswa yang masih sedang kuliah untuk senantiasa mengisi kekurangan-kekurangan yang ada dengan menefektifkan waktu yang masih tersisa.
Selamat mencoba.
+++++++++++++++++++++++++
+++++++++++++++++++++++++
Update April 2011
Ternyata tulisan ini cukup diminati oleh teman-teman netter dan blogger lain sehingga juga bisa dibaca di halaman berikut:
1. http://blog.unand.ac.id/ahmadchan/2011/02/10/kumpulan-penyesalan-para-wisudawan
2. http://ikikatta.blogspot.com/2010/05/kumpulan-penyesalan-para-wisudawan-kita.html
3. http://topickahmad.blogspot.com/2010/08/kumpulan-penyesalan-para-wisudawan.html
4. http://archive.kaskus.us/thread/3959537
5. http://archive.kaskus.us/thread/4014655
(*sayangnya, tidak semuanya menjalankan etika berinternet yaitu menyebutkan sumber tulisan. But it doesn’t matter 🙂
It happens in Chinese Call Centre
- At January 13, 2010
- By Yori Yuliandra
- In Let's Smile, Think English
- 49
Caller : “Hello, can I speak to Annie Wan?”
Operator : “Yes, you can speak to me.”
Caller : “No, I want to speak to Annie Wan!”
Operator : “Yes I understand you want to speak to anyone. You can speak to me. Who is this?”
Caller : “I’m Sam Wan. And I need to talk to Annie Wan! It’s urgent.”
Operator : “I know you are
Read More»Ternyata English Tenses itu cuma empat jenis
- At December 07, 2009
- By Yori Yuliandra
- In Think English
- 46
Beberapa hari yang lalu, kami kembali ngadain pertemuan english club. Meskipun yang hadir g banyak tidak menjadi halangan. Ntar kalo banyak yang hadir, malah tentornya yang pusing… berhubung masih di awal-awal pertemuan, kita diskusi masalah tenses. Ini sih udah barang lama, SMA kali yaaa… um… iya terakhir di bimbel SPMB. Tapi kemaren kita nge’refresh lagi tentang tensesnya.
Giniii… Sebenarnya tenses itu cuma gak banyak amat kalo kita perhatikan. Tenses dibagi menjadi 4 berdasarkan konteks waktunya (yaitu present, past, future, dan past future)… Trus berdasarkan konteks durasinya juga dibagi 4 (yaitu simple, continuous, perfect, dan perfect continuous). Nah… karena empat kali empat adalah enam belas makanya jenis tenses itu jadi enam belas. Apa beda masing-masingnya dan kapan kita gunakan… hoho… kapan-kapan mungkin bisa kita diskusikan
Don't say no to "Learning English"
Dear all friends and colleagues
Have you ever imagined doing many things easier than you ’ve ever done…? (This could be a difficult to understand-question if u don’t read the following. Let me make it simple and gimme your eyes).
I asked many students and friends about why we should study and understand english as well. A part of them answered because English is the the international language. Others said because English are the most common language used in text book in every discipline. Many different answers were also proposed. None was wrong. But I prefer to say that the most acceptable answer is “BECAUSE, NOWADAYS, ENGLISH IS THE LANGUAGE OF CIVILIZATION” (Karena saat ini, bahasa inggris adalah bahasa peradaban). When you use a computer, you will realize that english is absolutely needed to understand in using and troubleshooting it. When you buy a new TV, hand phone, etc., you will find that their manuals are
Read More»